Rabu, 22 Juni 2011

Indonesia Negara Eksportir Alutsista

Belum lama ini, Indonesia mengekspor CN 235 jenis pesawat angkut militer VIP ke negara Senegal Afrika, setelah sebelumnya juga mengirimkan pesawat yang sama ke negara Burkina Faso, Afrika Barat. Menyusul kiriman pesawat ke Senegal itu, Indonesia juga mengirimkan pesawat CN 235 jenis Maritime Patrol Aircraft (MPA) ke Korean Coast Guard pada hari berikutnya (tempointeraktif, 5/5/2011).

Selain jenis pesawat, Indonesia juga mengekspor persenjataan dan peralatan militer lainnya ke sejumlah negara seperti Timor Leste, Korea Selatan dan beberapa negara Asean (Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam) (Kompas, 24/3/2011). Khusus Timor Leste mendapatkan kredit ekspor 40 juta dollar dari pemerintah Indonesia untuk pembelian dua kapal patrol cepat (fast patrol boat).

Dua kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa negara kita masih dapat berjaya di dunia internasional, dengan hasil-hasil produk alutsista buatannya. Dalam pengertian lain, fakta ini juga isyarat bahwa sumber daya manusia dan mutu produk Indonesia dapat diunggulkan dan bersaing dengan yang dihasilkan oleh negara-negara lain di dunia. Artinya, cita-cita menjadi negara pengekspor alutsista pertama di Asean bukan mustahil dicapai Indonesia.

Tulisan ini akan memuat mengenai kondisi objektif pertahanan negara kita, pelbagai capaian yang pernah ditorehkan sistem pertahanan kita, permasalahan postur dan struktur pertahanan negara, serta sejumlah langkah penting yang dapat diambil dalam mewujudkan kemandirian bangsa dan negara dalam penguatan sistem pertahanan nasional.

Dua Persoalan Krusial
Kondisi sistem pertahanan nasional kita paling tidak dihadapkan pada dua masalah utama, yaitu pengadaan dan pemeliharaan alutsista. Dari dua permasalahan tersebut, juga ada dua hal selama ini ditengarai menjadi penghambat utama dalam upaya mendukung pengadaan dan pemeliharaan alutsista, yaitu pertama, keterbatasan anggaran; dan kedua rendahnya dukungan atau political will pemerintah terhadap pengembangan industri strategis nasional.

Untuk yang pertama, keterbatasan anggaran, merupakan persoalan klasik dan sangat krusial. Secara umum, selama sekian tahun, dukungan anggaran untuk kebutuhan pertahanan nasional hampir tidak pernah mencukupi. Ironinya bukan hanya karena sedang krisis pada tahun 1998, namun bahkan telah terjadi sejak masa Orde Baru. Yang membedakan barangkali, hanya persoalan derajatnya saja.

Menurut data yang dikeluarkan Dephan bahwa tingginya kebutuhan akan anggaran dalam setiap tahunnya ternyata belum diikuti oleh keinginan (political will) pemerintah untuk memenuhinya. Kesenjangan antara keduanya terkadang mencapai 400 persen. Sejak tahun 2005 hingga 2010, usulan yang diajukan Dephan terus mengalami peningkatan. Tahun 2005 saja, misalnya, anggaran yang diajukan sebesar Rp 45,022 triliun, sementara yang disetujui hanya Rp 23,1 triliun. Tahun 2008 dan 2009 masing-masing usulan Rp 100,5 triliun dan 127,1 triliun, namun realisasinya hanya Rp 32,8 dan Rp 33,6 triliun. Begitu juga dengan tahun 2010, anggaran yang diajukan sebesar Rp 158,1 triliun sementara realisasinya hanya sebesar Rp 40,6 triliun.

Dalam menyikapi rendahnya anggaran, pihak Dephan melakukan penyesuaian di antaranya melalui konsep pertahanan minimum esensial (minimum essential force). Akan tetapi anggaran untuk pertahanan esensial minimum ini pun hanya dipenuhi pemerintah sekitar seperempat atau sepertiganya selama beberapa tahun belakang; sehingga sulit untuk mengatakan bahwa minimnya anggaran tersebut tidak membawa dampak negatif yang krusial bagi kondisi pertahanan nasional.

Menurut data Dephan yang dipublikasikan tahun 2007, bahwa dengan anggaran pertahanan itu, Indonesia termasuk negara dengan anggaran pertahanan terkecil kedua (setelah Laos), yaitu 0,8 persen dari PDB. Masih lebih tinggi negara seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand yang menyediakannya anggaran pertahanannya sebesar 1,4 sampai 6,3 persen PDB. Negara kecil seperti Singapura perhatian terhadap penguatan sistem pertahananya sangat tinggi, dengan mengalokasikan hingga 7,6 persen dari PDBnya dan Brunei 6,0 persen.

Dari anggaran pertahanan yang tak seberapa itu pun hanya sembilan persennya yang dialokasikan untuk pemeliharaan alutsista. Artinya, alutsista hanya memperoleh di bawah sepersepuluh dari komponen belanja barang Dephan/TNI tahun 2008 dan 2009. Besaran ini tentu saja, jauh dari cukup, terlebih untuk membiayai alutsista yang banyak sudah berumur alias uzur. Rata-rata usia pesawat milik TNI AU sudah mencapai umur 30-40 tahun. Padahal semakin tua umur alutsista semakin tinggi pula biaya perawatannya.

Ketersediaan pesawat tempur modern yang ideal untuk wilayah langit Indonesia adalah 160 unit. Hanya saja kondisi saat ini yang ada, Indonesia hanya memiliki 68 unit (38 persen). Dan dari jumlah itu pun yang benar-benar dalam kondisi fit hanya 17 unit (13 persen). Begitu juga dengan pesawat angkut dan helikopter yang masing-masing kondisi idealnya harusnya 160 dan 144 unit, namun dalam kenyataannya hanya 13 persen dan 16 persen yang benar-benar dalam kondisi fit.

Karena rendahnya volume anggaran untuk pemeliharaan, kemudian banyak terjadi insiden kecelakaan pesawat TNI, seperti yang terjadi pada semester pertama tahun 2009 di mana sampai terjadi enam kali kecelakaan yang menewaskan sebanyak 130 korban jiwa.

Persoalan yang kedua, mengenai rendahnya dukungan atau political will pemerintah terhadap pengembangan industri strategis nasional. Keberpihakan ini penting yang meliputi kepastian pendanaan, aspek regulasi atau peraturan, pembinaan teknis serta membangun sinergi antara pihak-pihak atau lembaga yang terkait. Dari aspek pendanaan, seperti dijelaskan di atas dukungan pemerintah masih belum maksimal. Dan lebih disayangkan lagi, pemerintah seringnya membeli produksi buatan luar negeri.

Rendahnya keberpihakan pemerintah bukan hanya dari segi anggaran namun juga regulasi. Selama ini Indonesia telah memiliki regulasi UU No 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara. Bahwasanya pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (pasal 3 ayat 2). Dalam kenyataannya, porsi belanja itu lebih besar untuk biaya angkatan darat, sementara biaya untuk angkatan laut dan udara lebih kecil, mengingat kedua angkatan terakhir ini membutuhkan biaya dalam jumlah besar untuk pengadaan dan perawatan alutsistanya.

Sikap diskriminasi pemerintah juga ditujukan kepada sejumlah BUMN seperti PT DI yang pada tahun 2007 sempat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Pembelian alutsista impor barang dari luar negeri melalui mekanisme Kredit Ekspor tidak dikenakan PPN, namun bila alutsista dimaksud dibuat di dalam negeri oleh perusahaan yang dimiliki pemerintah sendiri, justru terkena PPN. Hal seperti ini dialami oleh PT DI, PT Pindad dan PT PAL.

Berbagai Capaian
Terlepas dari masih banyaknya persoalan yang masih dihadapi oleh sistem pertahanan nasional, adalah fakta yang tidak dapat dimungkiri bahwa negara kita adalah pertama di Asean yang maju dalam bidang teknologi pertahanannya. Ketika negara lainnya belum mampu membuat pesawat terbang, manusia-manusia Indonesia telah mampu mewujudkannya. Pada tahun 1954, Indonesia telah berhasil membuat pesawat yang dinamakan “Si Kumbang”. Empat tahun kemudian 1958, berhasil membuat pesawat latih dasar “Belalang 89”.

Industri pesawat terbang berkembang sangat pesat, terutama setelah didirikan PT. IPTN (Kini PT DI) di bawah kendali BJ Habibie pada tahun 1976. Perusahaan ini berhasil membuat sejumlah pesawat, helikopter, komponen pesawat, prototype panser, misil, roket, torpedo, dan lain sebagainya. Di antara jenis pesawat yang merupakan kebanggaan Indonesia, yaitu NC-212, CN-235, N-250, cikal bakal N-2130.

Pesawat-pesawat itu bukan hanya digunakan oleh TNI melainkan juga banyak diekspor ke negara-negara Asia, Eropa dan Timur Tengah. Negara-negara Asean yang menggunakan produk buatan Indonesia di antaranya adalah Malaysia yang membeli pesawat jenis CN-235 sebanyak delapan buah. Filipina dua buah, dan Brunei satu buah. Demikian juga dengan Korea Selatan yang juga memesan hingga 12 unit. Negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab yang memesan hingga tujuh unit, Pakistan hingga empat unit, dan Turki yang memodifikasi CN-235 itu menjadi anti-submarine aircraft.

Bukan hanya itu, Indonesia juga membuat sekaligus mengekspor suku cadang untuk Boeing, Airbus, General Dynamic, dan Fokker. Yang paling membanggakan adalah produk yang dihasilkan PT Dirgantara Indonesia untuk Airbus A-380, yaitu inboard outboard fixed leading edge. Komponen ini merupakan bagian penyangga pesawat yang bila tanpa itu, pesawat tidak akan bisa terbang. Komponen ini adalah pesanan British Aerospace Inggris. Pesawat ini disebut-sebut sebagai pesawat raksasa pertama di dunia yang mempunyai panjang kabin hingga 73 meter dan panjang sayap 79,8 meter. Pesawat dua tingkat ini mampu menampung 570 penumpang.

Indonesia juga bekerjasama dengan Bell Hilicopter dari Amerika untuk membuat helikopter Bell model 412 HP yang dirancang untuk keperluan militer.

Selain PT DI yang juga matra pertahanan negara kita adalah PT Pindad (Perindustrian Angkatan Darat) yang memproduksi senjata, kendaraan tempur, dan amunisi. Untuk peluru, misalnya, sebagian besar yang diproduksi adalah kaliber 5,56mm, 7,62mm dan 9mm. Selain untuk memenuhi kebutuhan peluru aparat, Pindad juga mengekspor ke sejumlah negara tetangga seperti Singapura (bahkan sudah beberapa tahun memesan hingga 10 juta butir), Filipina, Bangladesh, bahkan Amerika Serikat.

Produk-produk yang dihasilkan Pindad ini tentu saja telah melalui uji kelayakan badan internasional. Seperti semua produk Divisi Amunisi yang telah lulus pengujian standar NATO. Demikian juga telah mendapatkan sertifikat ISO 9001 dari SGS Yearsly-International Certification Services Ltd, Inggris pada tahun 1994.

Untuk Panser jenis Anoa 6×6 juga dipesan oleh Kerajaan Oman. Malaysia juga memesan hingga 30 unit panser Anoa. Panser bermesin Renault ini memang sudah teruji di negara-negara gurun seperti Libanon saat digunakan oleh pasukan perdamaian PBB. Kualitasnya sesuai dengan standar NATO pada level III atau level yang tingkat ketahanananya terhadap serangan sudah lebih baik dari level II yang diproduksi di Cina dan India.

Divisi senjata Pindad mampu memproduksi senapan serbu hingga varian kelima (SSI-VI, SS2-V2, SS1-V3, SS1-V5) senapan sniper (SPR-1) pistol (P-1, P-2), revolver (R1-V1, R1-V2, RG-1 (tiper A), RG-1 [tipe c]), senapan sabhara/polisi (Sabhara V1 and Sabhara V2), senjata penjaga hutan, pistol professional magnum, peluncur granat, dan pelindung tubuh (personal body protection). Produk-produk yang dihasilkan itu banyak dipesan oleh negara-negara di luar negeri. Di antaranya adalah sebuah jaringan supermarket khusus olahraga berburu, camping, dan memancing bernama Cabelas’s, yang merupakan pembeli terbesar produk-produk buatan Pindad.

PT PAL Indonesia merupakan perusahaan BUMN lainnya yang bergerak dalam industri strategis pertahanan, yaitu memproduksi kapal laut. Sejumlah jenis buatannya adalah kapal perang jenis Landing Platform Dock, kapal patrol cepat (Fast Patrol Boat), kapal selam, dan kapal angkutan/muatan curah sampai 50.000 Dead Weight Tonnage (DWT) dan kapal penumpang di atas 500 orang, serta kapal tanker sampai dengan 30.000 Long Ton Dead Weight (LTDW). Kualitas produk buatan industri kapal Indonesia diakui oleh dunia internasional. Di antaranya, negara Italia yang memesan kapal Chemical Tanker 6.200 DWT.

Mandiri dan Eksportir Alutsista
Melihat capaian di atas tentu saja bukan isapan jempol semata untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara pertama di Asean yang mandiri dan pengekspor alutsista. Meski industri pertahanan kerap dirundung masalah, rupanya mereka terbukti masih mampu membuktikan kemampuannya untuk bangkit di level nasional dan internasional, meski harus berjalan dalam keadaan tertatih-tatih.

Untuk tumbuh mandiri dan terdepan dalam ekspor alutsista, industri pertahanan nasional kita memiliki sejumlah kekuatan (strength) penting, di antaranya kekayaan alam sebagai bahan baku industri, SDM yang banyak, dan TNI yang solid yang didukung oleh kemampuan dan strategi handal dan moral juang tinggi. Kekuatan tersebut untuk memanfaatkan peluang yang besar, seperti adanya dukungan lembaga riset, kebijakan normative pemerintah dalam mendukung revitalisasi industri pertahanan, dan adanya negara-negara yang mau kerjasama dan alih teknologi secara nyata di bidang pertahanan.

Dibutuhkan dukungan penuh dari pemerintah untuk mewujudkan cita-cita mandiri bahkan menjadi negara eksportir alutsista dalam sizing yang lebih besar. Dukungan itu direalisasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berpihak pada cita-cita tersebut, serta memberikan alokasi anggaran yang lebih besar terhadap industri strategis.

Hal lain yang penting diperhatikan adalah meningkatkan peran kepemimpinan dalam koordinasi antar intansi. Seperti dalam masalah tarif bea masuk bahan baku yang dibebankan kepada BUMN seperti pada Pindad dan PT DI. Perlunya sinergi antara Bea Cukai (Depkeu) Bappenas, Dephan, serta Panitia Anggaran dan Komisi yang berwenang di DPR. Pasalnya, selama ini BUMN yang bergerak dalam matra pertahanan itu seringnya harus menghadapi kebijakan di setiap intansi yang kadang saling berbeda atau kurang sinkron.

DPR, khususnya Komisi I akan memberikan masukan ke pemerintah agar lebih fokus dalam pengadaan alutsista melalui industri dalam negeri dan kerjasama riset dan pengembangan, melakukan pengawasan terhadap akuisisi atau pengadaan alutsista sehingga lebih ketat, dan dalam budgeting, DPR meminta alokasi anggaran pertahanan khusus untuk pembinaan industri pertahanan nasional sehingga lebih nyata dan efektif.


sumber : KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar